Minggu, 26 Februari 2012

Selagi Kau Lelap - Filosofi Kopi


Judulnya terasa berkelas. "Filosofi", ah.. kata yang berat. Di dalam kata itu terbayang sederetan kalimat panjang berbelit-belit hanya untuk menjabarkan sebuah kata. Tapi saat disandingkan dengan kata "Kopi", jadi terasa lebih ringan. Karena kopi identik dengan keseharian. Gambarannya yang didapat pun jadi lebih jelas, ringan tapi berkelas.

Awas, hati-hati membaca judul buku ini. Bisa-bisa lidah jadi belibet. "Filosofi Kopi". Bukan "Filosopi Kopi", ataupun "Filosofi Kofi"! Dua yang terakhir memang lebih gampang diucapkan, apa lagi buat yang lidahnya rada medok :p

Filosofi Kopi bercerita tentang Ben dan Jody yang membuka cafe dengan menu utama aneka macam racikan minuman kopi dari berbagai penjuru dunia. Ben sangat terobsesi dengan kopi, hingga rela menguras tabungannya untuk berkeliling dunia mencari aneka ramuan-ramuan kopi langsung dari sumbernya. Setelah mendapatkan semuanya, obsesi Ben beralih ke pencarian racikan minuman kopi paling sempurna.
"Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan."
Cerita itu menjadi sangat unik karena mengambil topik yang sangat berbeda dari cerita lainnya. Tahu kan, cerita yang selalu dan selalu menjadi topik pilihan mayoritas penulis? Apalagi kalo bukan: Kisah cinta antar manusia.

Dari semua cerita yang ada di Novel ini gue paling suka sama cerita yang judulnya Selagi Kau Lelap... Buat gue ceritanya "pas" banget dengan apa yang gue rasain... :)

Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu.

Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal?

Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir tiga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.000

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantasis kalau ditarik dalam skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi…

Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu memberikan itu.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah terlalu tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering berada di situ. Entah siapa. Mungkin guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling… sudah. Stop aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretense? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai Tanah Perjanjian.

Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu kedalam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.

Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang… tak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan? Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.

Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.

Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa ‘selamat pagi’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar